Ketua : Ramli H Pakpahan, Wakil Ketua A Pakpahan, Sekretaris, Y Hutapea, Bendahara H Sitompul, Kerohanian Timbul M Pakpahan

Jumat, 20 Agustus 2010

LEGENDA TERBENTUKNYA DANAU TOBA



Pada suatu masa, hiduplah seorang pemuda (doli-doli) dengan ibunya di bagian utara Pulau Sumatera. Si doli na poso itu hidup sebagai seorang petani di Lembah Batak. Pendek cerita, pada suatu musim paceklik, kesulitan besar mulai menerpa kawasan itu. Persediaan bahan makanan menipis.

Tak ada cara lain, untuk mengisi perut hari ini, si doli hanya bisa mengandalkan pancingnya. Ketika matahari baru terbit, ia pergi memancing pada sebuah sungai. Tapi sampai tengah hari, ia belum mendapatkan satu pun ikan.

Matahari mulai tenggelam, dan perutnya mulai berdendang karena lapar. Akhirnya si doli putus asa. Ia baru saja mau melangkah pulang ketika melihat seekor ikan besar dan indah mendekatinya di tepian sungai. Warnanya kuning emas. Karena jinaknya, si doli berhasil memancing ikan itu, dan ia segera membawanya pulang.

Sesampai di rumah, rasa laparnya tak tertahankan lagi. Ia hendak memasak ikan mas itu. Tetapi sejenak kemudian ia baru menyadari betapa indahnya ikan aneh itu. Ia tertegun beberapa lama melupakan rasa laparnya, sampai akhirnya ia mengurungkan niatnya memasak ikan itu, dan memutuskan untuk memeliharanya. Apa boleh buat, malam ini si doli hanya dapat menghabiskan sisa stok makanan yang kian menipis.

Singkat cerita, musim yang melelahkan itu pun berlalu. Fajar pagi menyambut riang seiring tibanya musim tanam tahun ini. Dengan ceria, si doli memulai hidupnya untuk menyemai padi di ladang hingga tengah hari. Ketika matahari tepat di atas kepala, ia pulang ke rumah hendak makan siang. Tetapi alangkah terkejutnya si doli ketika melihat di meja mungil dalam rumahnya telah tersedia hidangan yang siap untuk dimakan. Semuanya tampak sangat lezat, tidak seperti biasanya.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Jangan-jangan ibu telah memasak ikan kesayangan hasil pancingannya. Si doli lari terbirit-birit ke belakang.

Oh Debata, syukurlah, ikan itu masih utuh dan berenang gembira di tempatnya. Lama ia berpikir, siapa yang menyediakan makanan di meja, sedangkan ibunya sedang tak ada di rumah dan kalaupun ibunya ada, dia tak biasanya memasak selezat itu. Tetapi karena perutnya sudah lapar, akhirnya si doli pun menyantap semua makanan dengan lahapnya. Ini hanya terjadi sekali-sekali, pikirnya.

Tapi tidak. Keesokan harinya, kejadian yang sama ternyata terulang kembali. Ini makin aneh dan membuat si doli curiga. Pada hari ketiga, ia berniat untuk mengetahui siapa sebenarnya yang melakukan hal itu.

Dengan satu siasat, si doli berpura-pura mau berangkat ke ladang, tapi di tengah jalan ia memutar arah dan kembali ke rumah untuk mengintip siapa yang melakukan semuanya. Saat sang ibu juga beranjak pergi ke ladang, si doli menyelinap di antara pepohonan dekat rumahnya. Lama ia menunggu, namun asap di dapur rumahnya belum juga terlihat, dan ia pun berniat untuk pulang karena telah bosan menunggu. Namun begitu akan keluar dari persembunyiannya, ia mulai melihat asap di dapur. Dengan perlahan-lahan, ia berjalan menuju belakang rumah.

Sesaat kemudian, parasnya berubah. Ia terpana. Betapa tidak, ketika ia mengintip dari celah dinding dapur rumahnya, seorang boru nauli, wanita yang sangat cantik dan ayu, berambut panjang, sedang memasak di dapur tua dan reot itu. Kulitnya bersinar dan sangat kontras dengan kayu-kayu rapuh yang mulai dimakan rayap.

Setelah pikiran sehatnya kembali, si doli memasuki rumahnya dan langsung menangkap si boru nauli tersebut.

Lalu ia berkata: “Oi...boru nauli (gadis yang cantik), siapakah engkau, dan darimana asalmu?”

Wanita itu tertunduk diam, dan mulai meneteskan air mata. Pada saat yang sama, pemuda itu tidak melihat ikannya lagi di dalam wadah. Ia pun bertanya pada wanita itu.

“Oi…boru nauli kemanakah ikan yang di dalam wadah ini? Apa yang telah kau lakukan padanya?”

Wanita itu malah semakin menangis tersedu-sedu. Namun si doli terus memaksa, hingga akhirnya wanita ayu itu memberikan pengakuan yang mengejutkan. “Akulah ikan yang kau pancing itu…”

Si doli terdiam beberapa saat. Sebentar ia memandang wadah ikan yang kosong, sebentar kemudian terpana menikmati paras gadis cantik itu. Karena masih terus menangis, si doli akhirnya mencoba membujuk si boru nauli.

Pada saat itu, ia mulai merasa kuch-kuch hota hai pada gadis itu. Ia begitu terpesona, dan sebelum segala sesuatunya berubah menjadi sesuatu yang tidak ia harapkan, ia pun nekat berkata: “Oh, boru nauli, maukah engkau menjadi istriku?”

Namun si boru nauli itu hanya terdiam dan tertunduk. Melihat keadaan si boru yang tetap membisu, si doli pun kembali bertanya, “Mengapakah engkau diam?”

Sesaat kemudian si boru nauli itu pun berkata seraya mengangkat wajahnya yang jelita. Matanya masih sembab, menatap sayu lelaki yang telah berbaik hati memeliharanya selama ini. “Aku mau menjadi istrimu…tetapi dengan satu syarat…”

“Apakah syarat itu?” potong si pemuda tak sabar.
Si boru nauli berkata, “Kelak, jika anak kita lahir dan tumbuh, janganlah pernah engkau katakan bahwa dirinya adalah anak ni dekke (anak ikan)”.

Angin tiba-tiba masuk dari arah danau. Aroma tubuh gadis itu menyebar wangi, seperti bau seribu kembang dataran tinggi yang mekar di pagi hari. Harumnya sampai ke hidung si doli, menyelusup ke sistem syarafnya, dan ia hanya setengah sadar ketika mengatakan, “Ya, aku sanggup memenuhi syaratmu!”.

Di tengah hari yang terik itu, si doli bersumpah di bawah matahari, apabila mereka kelak memiliki anak, maka ia tidak akan pernah memanggilnya dengan sebutan anak ni dekke.

Hingga suatu saat kemudian, mereka telah memiliki seorang anak laki-laki. Si ucok (anak laki-laki dalam masyarakat Toba) itu rupanya tumbuh sangat bandel dan tak pernah mendengarkan nasehat orang tuanya.

Pada suatu hari, sang ibu menyuruh anaknya untuk mengantar nasi ke ladang di mana ayahnya bekerja. Anak itu pun pergi mengantar nasi kepada damang (ayah), namun di tengah perjalanan, ia keasyikan bermain hingga merasa lapar. Bocah itu kemudian membuka makanan yang dibungkus untuk damang-nya, dan menghabiskannya.

Setelah selesai memakannya, kemudian ia membungkusnya kembali dan melanjutkan perjalanan. Sesampai di ladang, ia menyerahkan bungkusan tersebut kepada damang. Dengan sangat senang, sang ayah menerimanya, lalu duduk dan segera membuka bungkusan nasi yang dititipkan istrinya. Alangkah terkejutnya damang melihat isi bungkusan tersebut.

Dia bertanya kepada anaknya. “Hai anakku, mengapa isi bungkusan ini hanya tulang ikan belaka?”

“Di perjalanan tadi, perutku terasa lapar, jadi aku memakannya, Damang”.

Mendengar itu, damang emosi bukan main. Dengan kuat ia menampar pipi anaknya sambil berkata, “Botul maho anak ni dekke (Dasar engkau anaknya ikan)!”

Mendengar perkataan ayahnya, si ucok menangis dan berlari pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ia menanyakan apa maksud perkataan ayahnya. Ia menceritakan ulang kata-kata ayahnya sambil terus menangis. Mendengar hal itu, ibunya sedih dan marah. Suamiku telah melanggar sumpahnya, dan sekarang aku harus kembali ke alamku, pikirnya.

Hujan air mata membasahi tubuh kedua insan itu. Secara bertahap, mereka berubah kembali menjadi ikan.

Saat itu, langit mulai gelap. Hujan badai turun dengan derasnya, bersamaan dengan raibnya sang anak dan ibu. Dari bekas telapak kaki mereka muncul mata air yang mengeluarkan air sederas-derasnya hingga membentuk sebuah danau, yang kelak diberi nama “Danau Tuba” yang berarti danau yang tak tahu belas kasih. Berikutnya, karena logat Batak yang agak kasar dan tegas, maka nama tersebut berubah menjadi “Danau Toba”.

***

Berdasarkan observasi saya di lapangan dengan bantuan partopi Tao Toba (orang-orang yang tinggal di pinggiran Danau Toba), si boru nauli dan anaknya masih hidup sampai sekarang di perairan Danau Toba. Di lokasi-lokasi penelitian kami beberapa tahun terakhir ini--Balige, Parapat, Pangururan, kawasan Haranggaol dan Tongging--tak satu daerah pun yang menyangkal bahwa Danau Toba memiliki 3 ekor ikan mas yang sangat besar. Ketiga ikan itu memiliki 3 warna khas bangso Batak (bonang manalu), yaitu merah, hitam, dan putih. Menurut masyarakat partopi tao yang bekerja sebagai pencari ikan maupun pengemudi perahu transpor, mereka kadang melihat ikan tersebut melintasi tao (danau) bersama rombongannya. Bahkan sebagian dari mereka, ada yang sudah berulang kali melihat “penampakan”-nya.

Sebutan terhadap ikan-ikan raksasa itu pun bermacam-macam di setiap daerah. Di Parapat, misalnya, orang menyebutnya dengan namboru (bibi), sedangkan di kawasan Tao Silalahi disebut dengan turbo. Ikan-ikan tersebut memiliki tiga ukuran yang berbeda. Satu berukuran perahu kecil (solu) atau kurang lebih 4 meter. Yang dua ekor lagi diperkirakan berukuran antara 6 sampai 10 meter.

Nelayan di perairan Danau Toba selalu gelisah apabila rombongan tersebut melintas, karena doton (alat berupa perangkap jala untuk menjaring ikan) selalu robek tak karuan dibuatnya. Namun sebagian nelayan justru merasa beruntung karena terkadang rombongan tersebut meninggalkan seekor ikan mas berukuran 2-3 kg di jaring doton yang masih tersisa.

Bagi yang sudah mengerti, mereka akan berdiam diri saja apabila melihat ikan-ikan ini. Mereka yakin, makhluk-makhluk itu adalah penunggu yang mendiami danau vulkanik terluas dan tertinggi di dunia itu.
Danau Toba memang banyak menyimpan misteri yang belum dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan dan logika manusia. Makanya danau ini juga menyimpan penjelasan metafisika yang kaya, mulai dari legenda hingga kebudayaan yang berakar dari karakter Danau Toba sendiri.
Penasaran ?!?

Silahkan berkunjung ke Danau Toba,,, bahkan pernah muncul slogan yg mengatakan ORANG BATAK JANGAN MATI SEBELUM INJAK DANAU TOBA DAN PULAU SAMOSIR.

HORAS...HORAS...HORAS...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar