Ketua : Ramli H Pakpahan, Wakil Ketua A Pakpahan, Sekretaris, Y Hutapea, Bendahara H Sitompul, Kerohanian Timbul M Pakpahan
Kamis, 26 Agustus 2010
Perahu Nabi Nuh Ditemukan di Turki?
"Kami belum yakin 100 % bahwa ini benar perahu Nuh, tapi keyakinan kami sudah 99 %."
Dikisahkan, sekitar 4.800 tahun lalu, banjir bandang menerjang Bumi. Sebelum bencana mahadahsyat itu terjadi, Nabi Nuh -- nabi tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi, diberi wahyu untuk membuat kapal besar -- demi menyelamatkan umat manusia dan mahluk Bumi lainnya.
Cerita tentang bahtera Nabi Nuh dikisah dalam berbagai buku, sejumlah film dan lain-lain. Sejumlah ahli sejarah dari berbagai negara sudah lama penasaran dengan kebenaran kisah ini.
Untuk membuktikan kebenaran cerita itulah, kelompok peneliti dari China dan Turki yang tergabung dalam 'Noah's Ark Ministries International' selama bertahun-tahun mencari sisa-sisa perahu legendaris tersebut.
Kemarin, 26 April 2010 mereka mengumumkan mereka menemukan perahu Nabi Nuh di Turki. Mereka mengklaim menemukan sisa-sisa perahu Nabi Nuh berada di ketinggian 4.000 meter di Gunung Agri atau Gunung Ararat, di Turki Timur.
Mereka bahkan mengklaim berhasil masuk ke dalam perahu itu, mengambil foto dan beberapa specimen untuk membuktikan klaim mereka.
Menurut para peneliti, specimen yang mereka ambil memiliki usia karbon 4.800 tahun, cocok dengan apa yang digambarkan dalam sejarah.
Jika klaim mereka benar, para peneliti Evangelis itu telah menemukan perahu paling terkenal dalam sejarah.
"Kami belum yakin 100 persen bahwa ini benar perahu Nuh, tapi keyakinan kami sudah 99 persen," kata salah satu anggota tim yang bertugas membuat film dokumenter, Yeung Wing, seperti dimuat laman berita Turki, National Turk, 27 April 2010.
Grup yang beranggotakan 15 orang dari Hong Kong dan Turki hadir dalam konferensi pers yang diadakan Senin 26 April 2010 lalu.
Kepada media yang hadir saat itu, mereka juga memamerkan specimen fosil kapal yang diduga perahu Nuh, berupa tambang, paku, dan pecahan kayu.
Seperti yang dijelaskan para peneliti, tambang dan paku diduga digunakan untuk menyatukan kayu-kayu hingga menjadi kapal. Tambang juga digunakan untuk mengikat hewan-hewan yang diselamatkan dari terjangan bah -- begitu juga dengan potongan kayu yang dibuat bersekat untuk menjaga keamanan hewan-hewan.
Penemuan besar ini jadi amunisi untuk mendorong pemerintah Turki mendaftarkan situs ini ke UNESCO -- agar lembaga PBB itu ikut menjaga kelestarian perahu Nuh.
Awalnya, direncananya para arkeolog akan menggali perahu itu dan memisahkannya dari gunung. Namun, hal tersebut tak mungkin dilakukan, meski nilai sejarah penemuan ini sangat tinggi.
***
Gunung Ararat, lokasi penemuan perahu Nabi Nuh
Diyakini, ketika air surut, perahu Nuh berada di atas Gunung. Meski tiga agama besar mengabarkan mukjizat Nabi Nuh, tak ada penjelasan sama sekali, di mana persisnya perahu itu menyelesaikan misinya.
Sejak lama penduduk lokal Turki yang tinggal di pegunungan maupun kota-kota lain percaya bahwa perahu Nabi Nuh berada di Gunung Ararat.
Apalagi, pilot pesawat temput Turki dalam sebuah misi pemetaan NATO, mengaku melihat benda besar seperti perahu di Dogubayazit, Turki.
Pada 2006, citra satelit secara detil menunjukan benda mirip kapal yang diduga perahu Nuh itu adalah gunung yang dilapisi salju.
Beberapa ahli lain berpendapat bahwa sisa-sisa perahu Nuh menjadi bagian dari pemukiman manusia -- yang selamat dari bencana banjir bah.
Namun, peneliti yang mengklaim penemu perahu Nuh membantahnya. "Kami tak pernah menemukan ada manusia yang bermukim di ketinggian 3.500 meter dalam sejarah umat manusia."
Cuaca sangat dingin di ketinggian 4.000 meter itu oleh para penemu diyakini menjaga kondisi perahu Nuh selama ribuan tahun.
Jumat, 20 Agustus 2010
LEGENDA TERBENTUKNYA DANAU TOBA
Pada suatu masa, hiduplah seorang pemuda (doli-doli) dengan ibunya di bagian utara Pulau Sumatera. Si doli na poso itu hidup sebagai seorang petani di Lembah Batak. Pendek cerita, pada suatu musim paceklik, kesulitan besar mulai menerpa kawasan itu. Persediaan bahan makanan menipis.
Tak ada cara lain, untuk mengisi perut hari ini, si doli hanya bisa mengandalkan pancingnya. Ketika matahari baru terbit, ia pergi memancing pada sebuah sungai. Tapi sampai tengah hari, ia belum mendapatkan satu pun ikan.
Matahari mulai tenggelam, dan perutnya mulai berdendang karena lapar. Akhirnya si doli putus asa. Ia baru saja mau melangkah pulang ketika melihat seekor ikan besar dan indah mendekatinya di tepian sungai. Warnanya kuning emas. Karena jinaknya, si doli berhasil memancing ikan itu, dan ia segera membawanya pulang.
Sesampai di rumah, rasa laparnya tak tertahankan lagi. Ia hendak memasak ikan mas itu. Tetapi sejenak kemudian ia baru menyadari betapa indahnya ikan aneh itu. Ia tertegun beberapa lama melupakan rasa laparnya, sampai akhirnya ia mengurungkan niatnya memasak ikan itu, dan memutuskan untuk memeliharanya. Apa boleh buat, malam ini si doli hanya dapat menghabiskan sisa stok makanan yang kian menipis.
Singkat cerita, musim yang melelahkan itu pun berlalu. Fajar pagi menyambut riang seiring tibanya musim tanam tahun ini. Dengan ceria, si doli memulai hidupnya untuk menyemai padi di ladang hingga tengah hari. Ketika matahari tepat di atas kepala, ia pulang ke rumah hendak makan siang. Tetapi alangkah terkejutnya si doli ketika melihat di meja mungil dalam rumahnya telah tersedia hidangan yang siap untuk dimakan. Semuanya tampak sangat lezat, tidak seperti biasanya.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Jangan-jangan ibu telah memasak ikan kesayangan hasil pancingannya. Si doli lari terbirit-birit ke belakang.
Oh Debata, syukurlah, ikan itu masih utuh dan berenang gembira di tempatnya. Lama ia berpikir, siapa yang menyediakan makanan di meja, sedangkan ibunya sedang tak ada di rumah dan kalaupun ibunya ada, dia tak biasanya memasak selezat itu. Tetapi karena perutnya sudah lapar, akhirnya si doli pun menyantap semua makanan dengan lahapnya. Ini hanya terjadi sekali-sekali, pikirnya.
Tapi tidak. Keesokan harinya, kejadian yang sama ternyata terulang kembali. Ini makin aneh dan membuat si doli curiga. Pada hari ketiga, ia berniat untuk mengetahui siapa sebenarnya yang melakukan hal itu.
Dengan satu siasat, si doli berpura-pura mau berangkat ke ladang, tapi di tengah jalan ia memutar arah dan kembali ke rumah untuk mengintip siapa yang melakukan semuanya. Saat sang ibu juga beranjak pergi ke ladang, si doli menyelinap di antara pepohonan dekat rumahnya. Lama ia menunggu, namun asap di dapur rumahnya belum juga terlihat, dan ia pun berniat untuk pulang karena telah bosan menunggu. Namun begitu akan keluar dari persembunyiannya, ia mulai melihat asap di dapur. Dengan perlahan-lahan, ia berjalan menuju belakang rumah.
Sesaat kemudian, parasnya berubah. Ia terpana. Betapa tidak, ketika ia mengintip dari celah dinding dapur rumahnya, seorang boru nauli, wanita yang sangat cantik dan ayu, berambut panjang, sedang memasak di dapur tua dan reot itu. Kulitnya bersinar dan sangat kontras dengan kayu-kayu rapuh yang mulai dimakan rayap.
Setelah pikiran sehatnya kembali, si doli memasuki rumahnya dan langsung menangkap si boru nauli tersebut.
Lalu ia berkata: “Oi...boru nauli (gadis yang cantik), siapakah engkau, dan darimana asalmu?”
Wanita itu tertunduk diam, dan mulai meneteskan air mata. Pada saat yang sama, pemuda itu tidak melihat ikannya lagi di dalam wadah. Ia pun bertanya pada wanita itu.
“Oi…boru nauli kemanakah ikan yang di dalam wadah ini? Apa yang telah kau lakukan padanya?”
Wanita itu malah semakin menangis tersedu-sedu. Namun si doli terus memaksa, hingga akhirnya wanita ayu itu memberikan pengakuan yang mengejutkan. “Akulah ikan yang kau pancing itu…”
Si doli terdiam beberapa saat. Sebentar ia memandang wadah ikan yang kosong, sebentar kemudian terpana menikmati paras gadis cantik itu. Karena masih terus menangis, si doli akhirnya mencoba membujuk si boru nauli.
Pada saat itu, ia mulai merasa kuch-kuch hota hai pada gadis itu. Ia begitu terpesona, dan sebelum segala sesuatunya berubah menjadi sesuatu yang tidak ia harapkan, ia pun nekat berkata: “Oh, boru nauli, maukah engkau menjadi istriku?”
Namun si boru nauli itu hanya terdiam dan tertunduk. Melihat keadaan si boru yang tetap membisu, si doli pun kembali bertanya, “Mengapakah engkau diam?”
Sesaat kemudian si boru nauli itu pun berkata seraya mengangkat wajahnya yang jelita. Matanya masih sembab, menatap sayu lelaki yang telah berbaik hati memeliharanya selama ini. “Aku mau menjadi istrimu…tetapi dengan satu syarat…”
“Apakah syarat itu?” potong si pemuda tak sabar.
Si boru nauli berkata, “Kelak, jika anak kita lahir dan tumbuh, janganlah pernah engkau katakan bahwa dirinya adalah anak ni dekke (anak ikan)”.
Angin tiba-tiba masuk dari arah danau. Aroma tubuh gadis itu menyebar wangi, seperti bau seribu kembang dataran tinggi yang mekar di pagi hari. Harumnya sampai ke hidung si doli, menyelusup ke sistem syarafnya, dan ia hanya setengah sadar ketika mengatakan, “Ya, aku sanggup memenuhi syaratmu!”.
Di tengah hari yang terik itu, si doli bersumpah di bawah matahari, apabila mereka kelak memiliki anak, maka ia tidak akan pernah memanggilnya dengan sebutan anak ni dekke.
Hingga suatu saat kemudian, mereka telah memiliki seorang anak laki-laki. Si ucok (anak laki-laki dalam masyarakat Toba) itu rupanya tumbuh sangat bandel dan tak pernah mendengarkan nasehat orang tuanya.
Pada suatu hari, sang ibu menyuruh anaknya untuk mengantar nasi ke ladang di mana ayahnya bekerja. Anak itu pun pergi mengantar nasi kepada damang (ayah), namun di tengah perjalanan, ia keasyikan bermain hingga merasa lapar. Bocah itu kemudian membuka makanan yang dibungkus untuk damang-nya, dan menghabiskannya.
Setelah selesai memakannya, kemudian ia membungkusnya kembali dan melanjutkan perjalanan. Sesampai di ladang, ia menyerahkan bungkusan tersebut kepada damang. Dengan sangat senang, sang ayah menerimanya, lalu duduk dan segera membuka bungkusan nasi yang dititipkan istrinya. Alangkah terkejutnya damang melihat isi bungkusan tersebut.
Dia bertanya kepada anaknya. “Hai anakku, mengapa isi bungkusan ini hanya tulang ikan belaka?”
“Di perjalanan tadi, perutku terasa lapar, jadi aku memakannya, Damang”.
Mendengar itu, damang emosi bukan main. Dengan kuat ia menampar pipi anaknya sambil berkata, “Botul maho anak ni dekke (Dasar engkau anaknya ikan)!”
Mendengar perkataan ayahnya, si ucok menangis dan berlari pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ia menanyakan apa maksud perkataan ayahnya. Ia menceritakan ulang kata-kata ayahnya sambil terus menangis. Mendengar hal itu, ibunya sedih dan marah. Suamiku telah melanggar sumpahnya, dan sekarang aku harus kembali ke alamku, pikirnya.
Hujan air mata membasahi tubuh kedua insan itu. Secara bertahap, mereka berubah kembali menjadi ikan.
Saat itu, langit mulai gelap. Hujan badai turun dengan derasnya, bersamaan dengan raibnya sang anak dan ibu. Dari bekas telapak kaki mereka muncul mata air yang mengeluarkan air sederas-derasnya hingga membentuk sebuah danau, yang kelak diberi nama “Danau Tuba” yang berarti danau yang tak tahu belas kasih. Berikutnya, karena logat Batak yang agak kasar dan tegas, maka nama tersebut berubah menjadi “Danau Toba”.
***
Berdasarkan observasi saya di lapangan dengan bantuan partopi Tao Toba (orang-orang yang tinggal di pinggiran Danau Toba), si boru nauli dan anaknya masih hidup sampai sekarang di perairan Danau Toba. Di lokasi-lokasi penelitian kami beberapa tahun terakhir ini--Balige, Parapat, Pangururan, kawasan Haranggaol dan Tongging--tak satu daerah pun yang menyangkal bahwa Danau Toba memiliki 3 ekor ikan mas yang sangat besar. Ketiga ikan itu memiliki 3 warna khas bangso Batak (bonang manalu), yaitu merah, hitam, dan putih. Menurut masyarakat partopi tao yang bekerja sebagai pencari ikan maupun pengemudi perahu transpor, mereka kadang melihat ikan tersebut melintasi tao (danau) bersama rombongannya. Bahkan sebagian dari mereka, ada yang sudah berulang kali melihat “penampakan”-nya.
Sebutan terhadap ikan-ikan raksasa itu pun bermacam-macam di setiap daerah. Di Parapat, misalnya, orang menyebutnya dengan namboru (bibi), sedangkan di kawasan Tao Silalahi disebut dengan turbo. Ikan-ikan tersebut memiliki tiga ukuran yang berbeda. Satu berukuran perahu kecil (solu) atau kurang lebih 4 meter. Yang dua ekor lagi diperkirakan berukuran antara 6 sampai 10 meter.
Nelayan di perairan Danau Toba selalu gelisah apabila rombongan tersebut melintas, karena doton (alat berupa perangkap jala untuk menjaring ikan) selalu robek tak karuan dibuatnya. Namun sebagian nelayan justru merasa beruntung karena terkadang rombongan tersebut meninggalkan seekor ikan mas berukuran 2-3 kg di jaring doton yang masih tersisa.
Bagi yang sudah mengerti, mereka akan berdiam diri saja apabila melihat ikan-ikan ini. Mereka yakin, makhluk-makhluk itu adalah penunggu yang mendiami danau vulkanik terluas dan tertinggi di dunia itu.
Danau Toba memang banyak menyimpan misteri yang belum dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan dan logika manusia. Makanya danau ini juga menyimpan penjelasan metafisika yang kaya, mulai dari legenda hingga kebudayaan yang berakar dari karakter Danau Toba sendiri.
Penasaran ?!?
Silahkan berkunjung ke Danau Toba,,, bahkan pernah muncul slogan yg mengatakan ORANG BATAK JANGAN MATI SEBELUM INJAK DANAU TOBA DAN PULAU SAMOSIR.
HORAS...HORAS...HORAS...
Kamis, 29 April 2010
Ulang Tahun ke - 1
Senin, 26 April 2010
Cerita Batu Gantung di Parapat
Alkisah,di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupikebutuhan sehari-hari.
Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba.
Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.
"Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini," keluh Seruni. Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu.
Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong. Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosokke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.
"Tolooooggg......! Tolooooggg......! Toloong aku, Toki!" terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.
Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.
"Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita," pasrah Seruni.
Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. "Parapat! Parapat batu... Parapat!" seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
"Auggg...! auggg...! auggg...!" si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.
"Toki..., mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?" tanya ayah Seruni kepada anjing itu.
"Auggg...! auggg...! auggg...!" si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
"Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya," sahut ibu Seruni.
"Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya," kata ayah Seruni.
"Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?" kata ibu Seruni.
"Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga," seru sang ayah. Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.
Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: "Parapat... ! Parapat batu... Parapat!"
"Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.
"Benar, bu! Itu suara Seruni!" jawab sang ayah ikut panik.
"Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?" tanya sang ibu.
"Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana," jawab sang ayah cemas.
Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
"Seruniii...! Seruniii... !" teriak ayah Seruni.
"Seruni...anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!" sang ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.
"Parapat... ! Parapatlah batu... ! Parapatlah!"
"Seruniiii... anakku!" sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.
"Bu, pegang obor ini!" perintah sang ayah.
"Ayah mau ke mana?" tanya sang ibu.
"Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang," jawabnya tegas.
"Jangan ayah, sangat berbahaya!" cegah sang ibu.
"Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap," sahut salah seorang warga.
Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama "Batu Gantung".
Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat "Batu Gantung" itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: "Parapat... parapat batu... parapatlah!"Oleh karena kata "parapat" sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama "Parapat".
Konon Sitoki juga ikut melompat untuk membantu seruni....
Langganan:
Postingan (Atom)